Teknik dan Prosedur Dalam Behavior Terapi (Terapi Tingkah Laku )

Penerapan : Teknik-teknik dan prosedur-posedur terapeutik
            Dalam terapi tingkah laku, teknik-teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis, dan hasil-hasailnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak di antaranya yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain.
2.3.1 Teknik-teknik utama terapi tingkah laku
Desensitisasi sistematik
            Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
            Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini, Wolpe (1958, 1969) telah mengembangkan suatu respons – yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan – yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam. Prosedur model pengondisian balik ini adalah sebagai berikut:
1.    Desensitisasi sistematik dimulai dengan suatu analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang bisa membangkitkan kecemasan dalam suatu wilayah tertentu seperti penolakan, rasa iri, ketidakseriusan, atau suatu fobia. Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan kecemasan-kecemasan klien dalam wilayah tertentu. Terapis menyusun suatu daftar yang bertingkat mengenai situasi-situasi yang kemunculannya meningkatkan taraf kecemasan atau penghindaran. Tingkatan dirancang dalam urutan dari situasi yang paling buruk yang bisa dibayangkan oleh klien kepada situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah.
2.    Selama pertemuan-pertemuan terapeutik pertama klien diberi latihan relaksasi yang terdiri atas kontraksi, dan lambat laun pengenduran otot-otot yang berbeda sampai tercapai suatu keadaan santai penuh. Sebelum latihan relaksasi dimulai, klien diberi tahu tentang cara relaksasi digunakan dalam desensitisasi, cara menggunakan relaksasi itu dalam kehidupan sehari-hari, dan cara mengendurkan bagian-bagian tubuh tertentu. Hal yang penting adalah bahwa klien mencapai keadaan tenang dan damai. Klien diajari bagaimana mengendurkan segenap otot dan bagian tubuh, dengan titik berat pada otot-otot wajah. Otot-otot tangan dikendurkan terlebih dahulu, diikuti oleh kepala, kemudian leher dan pundak, punggung, perut dan dada, dan kemudian anggota-anggota badan bagian bawah. Klien diminta untuk mempraktekan relaksasi di luar pertemuan terapeutik, sekitar 30 menit lamanya setiap hari. Apabila klien telah bisa belajar untuk santai dengan cepat, maka prosedur senesitisasi bisa dimulai.
3.    Proses desensitisasi melibatkan keadaan di mana klien sepenuhnya santai dengan mata tertutup. Terapis menceritakan serangkaian situasi dan meminta klien untuk membayangkan dirinya berada dalam setiap situasi yang diceritakan oleh terapis itu. Situasi yang netral diungkapkan, dan klien diminta untuk membayangkan dirinya berada di dalamnya. Jika klien mampu tetap santai, maka dia diminta untuk membayangkan suatu situasi yang membangkitkan kecemasan yang tarafnya paling rendah. Terapis bergerak mengungkapkan situasi-situasi secara bertingkat sampai klien menunjukkan bahwa mengalami kecemasan, dan pada saat itulah pengungkapan situasi diakhiri. Kemudian relaksasi dimulai lagi, dan klien kembali membayangkan dirinya berada dalam situasi-situasi yang diungkapkan oleh terapis. Treatment dianggap selesai apbila klien mampu untuk tetap santai ketika membayangkan situasi yang sebelumnya paling menggelisahkan dan menghasilkan kecemasan.
              Desensitisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
               Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, (2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, (3) ketidakmemaidaian dalam membayangkan.

Terapi implosif dan pembanjiran
            Teknik-teknik pembanjiran berdasarkan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Tenik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik tingkatan kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, klien membayangkan situasi, dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
            Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut “terapi implosif”. Terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Terapi implosif berbeda dengan dsensitisasi sistematik dalam usaha terapis untuk menghadirkan luapan emosi yang masif. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seseorang secara berulang –ulang dihadapkan pada situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam. dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekueansi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terhapus.
            Stampfl (1975) mencatat prosedur-prosedur penanganan klien mencakup (1) pencarian stimulus-stimulus apa yang memicu gejala-gejala apa, (2) menaksir bagaimana gejala-gejala berkaitan dan bagaimana gejala-gejala itu membentuk tingkah laku klien, (3) meminta kepada klien untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya, (4) bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membyangkan apa yang paling ingin dihindarinya, dan (5) mengulang prosedur-prosedur tersebut sampai kecemasan tidak lagi muncul dalam diri klien.


Latihan asertif
            Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal di mana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau peraaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang  untuk mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
            Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Misalnya, klien mengeluh bahwa dia acap kali merasa ditekan oleh atasannya untuk melakukan hal-hal yang menurut penilainnya buruk dan merugikan serta mengalami hambatan untuk bersikap tegas di hadapa atasannya itu. Pertama-tama klien memainkan peran sebagai atasan, memberi contoh bagi terapis, sementara terapis mencontoh cara berpikir dan cara klien menghadapi atasan. Kemudian mereka saling menukar peran sambil klien mencoba tingkah laku baru dan terapis memainkan peran sebagai atsan. Klien boleh memberikan pengarahan kepada terapis tentang bagaimana memainkan peran sebagai atasannya secara realistis, sebaliknyaterapis melatih klien bagaimana bersikap tegas terhadap atasan. Proses pembentukan terjadi ketika tingkah laku baru dicapai dengan penghampran-penghampiran. Juga terjadi penghapusan kecemasan dalam menghadapi atasan, dan sikap klien yang lebih tegas terhadap atasan menjadi lebih sempurna.
            Shaffer dan Galinsky (1974) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif atau “latihan ekspresif” dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas delapan sampai sepuluh anggota memiliki latar belakang yang sama, dan session terapis bertindak sebagai seorang ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi permainan peran, dan memberikan umpan balik kepada para anggota.
            Secara khas session berstruktur sebagai berikut: Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan didaktik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan respon-respon internal yang tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurangtegasan dan pada belajar peran tingkah laku baru yang asertif. Session kedua bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing-masing anggota menerangkan tingkah laku spesifik dalam situasi-situasi interpersonal yang dirasakannya menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan tingkah laku menegaskan diri yang semula mereka hindari sebelum memasuki session selanjutnya. Selama session ketiga, para anggota menerangkan tentang tingkah laku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan, jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok langsung menjalankan permainan peran. Session selanjutnya terdiri atas penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan tingkh laku menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi. Session yang terakhir bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan individual para anggota.
            Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalamsituasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketidakmemadaiannya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Terapi aversi
            Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Stimulus-stimulus aversi biasanya berupa hukuman dengan kejutan listrik atau pemberian ramuan yang membuat mual. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau peggunaan berbagai bentuk hukuman.
            Dalam setting yang lebih formal dan terapeutik, teknik-teknik aversif sering digunakan dalam penanganan berbagai tingkah laku yang maladaptif, teknik ini merupakan metode yang utama dalam penanganan alkoholisme. Selain pada penanganan alkoholisme, prosedur-prosedur aversi telah digunakan secara berhasil pada penanganan penyimpangan-penyimpangan seksual dengan mengasosiasikan stimulus yang menyakitkan dengan objek atau tindakan seksual yang tidak layak. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku yang alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
            Skinner (1948,1971) adalah salah seorang tokoh yang terang-terangan menentang penggunaan hukuman sebagai cara untuk mengendalikan hubungan-hubungan manusia ataupun untuk mencapai maksud-maksud lembaga-lembaga masyarakat. Menurut Skinner, perkuatan positif jauh lebih efektif dalam mengendalikan tingkah laku karena hasil-hasilnya lebih bisa diramalkan serta kemungkinan timbulnya tingkah laku yang tidak diinginkan akan lebih kecil.
            Apabila hukuman digunakan, maka terdapat kemungkinan terbentuknya efek-efek samping emosional tambahan seperti: (1) tingkah laku yang tidak diinginkan yang dihukum boleh jadi akan ditekan hanya apbila penghukum hadir, (2) jika tidak ada tingkah laku yang menjadi alternatif bagi tingkah laku yang di hukum, maka individu ada kemungkinan menarik diri secara berlebihan, (3) pengaruh hukuman boleh jadi digeneralisasikan kepada tingkahlaku lain yang berkaiatan dengan tingkah laku yang di hukum. Jadi, seorang anak yang dihukum karena kegagalannya di sekolah boleh jadi akan membenci semua pelajaran, sekolah, semua guru, dan barangkali bahkan mmbenci belajar pada umumnya.
Pengondisian operan
            Tingkah laku operan adalah tingkahlaku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbicara, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain, dan sebagainya. Berikut uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang mencakup perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.
Perkuatan positif. Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat primer.
Pembentukan respon.  Dalam pembentukan respon, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir. Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam perbendaharaan tingkah laku individu.
Perkuatan intermiten. Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang sudah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, terapis harus maemahami kondisi-kondisi umum di mana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laku setiap setiap kali iamuncul. Sedangkan perkuatn intermiten diberikan secara bervariasi kepada tingkah laku yang spesifik.  Tingkah laku yang dikondisikan oleh perkuatan intermiten pada umunya lebih tahan terhadap penghapusan dibandingkan dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus-menerus.
Penghapusan. Apabila suatu respons terus-menerus dibuat tanpa perkuatan, maka respons tersebut cenderung menghilang. Dengan demikian, karena pola-pola tingkah laku yang dipelajari cenderung melemah dan terhapus setelah suatu periode, cara untuk menghapus tingkah laku yang maladaptif adalah menarik perkuatan dari tingkah lakuyang maladaptif itu. Wolpe (1969) menekankan bahwa penghentian pemberian perkuatan harus serentak dan penuh. Terapis, guru, dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai yeknikutama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi.
Pencontohan. Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku oarang lainberikut konsekuensi-konsekuensinya.
Token economy. Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diinginkan.
            Ada sejumlah prinsip yang banyak mendasari pendekatan behavioral untuk intervensi klinis (Margraff, 1998). Pendekatan ini banyak menyandarkan diri pada tradisi psikologi empiris. Dalam intervensi klinis, ini diterjemahkan menjadi kebutuhan untuk mengoperasionalisasikan masalah klien (yaitu menspesifikan dengan jelas tindakan yang akan diambil di seputar kesulitan yang dimaksud) dan penyandaran diri terhadap pengumpulan dan interpretasi data, yang dapat dikumoulkan melalui pengukuran langsung, observasi, atau self-tracking yang dilakukan oleh klien. Ketiga macam data ini biasanya dikumpulkan rutin. Terapis meminta pengumpulan data selama periode baseline (garis besar) sebelum menerapkan sebuah intervensi dilakukan. Intervensi behavioral sejauh mungkin disesuaikan dengan individiu tertentu dan dengan masalah tetentu yang dialamminya. Terapi behavioral berusaha mengajarkan klien tentang cara menolong diri sendiri dengan menekankan tentang pentingnya membangun keterampilan-keterampilan yang berkesinambungan seumur hidup.