Sejarah dan Konsep Play Therapy


Pict by Ipta.ie

Sejarah Play Therapy
Penggunaan bermain dalam terapi anak dapat diadaptasi menurut orientasi teori yang dianut konselor atau terapis. Dua pendekatan utama terapi bermain adalah psikodinamika dan client centered (Dwijandono, 2005:297). Bentuk terapi bermain dikembangkan melalui pekerjaan Anna Freud dan Melanie Klein. Ada perbedaan dan persamaan antara dua pendekatan ini. Anna Freud (dalam Dwijandono, 2005:298) “menekankan beberapa perbedaan penting yang ada dalam terapi anak dibandingkan dengan orang dewasa, dan ini akan dipegang kebenarannya tanpa memandang pendekatan konseling yang digunakan. Supaya konseling dengan anak dapat sukses, konselor harus dapat menerapkan minat anak dan memotivasinya. Meskipun demikian, tanpa kerjasama dengan orang tua barangkali kurang sukses. Terapi bermain berkembang secara perlahan dari usaha awal mengadaptasi psikoanalisis untuk menyembuhkan anak. Sesudah ditemukan bahwa anak-anak tidak dapat menggunakan asosiasi bebas untuk menjelaskan kecemasan mereka, Anna Freud, 926-1964 dan Melani Klein, 1932 (dalam Dwijandono, 2005:298-299) menggabungkan kegiatan bermain ke dalam proses terapeutik.
Melani Klein
Anna Freud
Menggunakan sebagai bentuk dalam menganalisis anak di bawah usia 6 tahun.
Menggunakan permainan sebagai suatu kegiatan dalam menganalisis pekerjaan nyata.
Melihat arti yang tidak disadari dan symbol seksual dalam sebagian besar kegiatan bermain anak dan ini diinterpretasikan kepada anak.
Tidak percaya bahwa permainan mempunyai arti simbolik dan karena itu dia tidak mengguanakan permainan sebagai dasar untuk menginterpretasi.
Menggunakan permainan sebagai pengganti untuk mengungkapkan dengan kata-kata yang biasanya didapat dengan asosiasi bebas gaya orang dewasa.
Memakai permaianan dan mainan sebagai suatu cara untuk mempelajari anak dan untuk menarik mereka dalam terapi. Mengguankan permainan untuk menciptakan suatu gabungan terapeutik dan untuk mendapatkan bukti tentang kehidupan inner anak.
Mengeksplorasi motvasi yang tidak disadari dan menganalisis hubungan tranferensi anak dengan terapis merupakan pusat “analisis bermain.
Memindahkan penekanan penekanan dari bermain ke interaksi verbal untuk berkomunikasi dan menanyakan kepada anak bagaimanan menciptakan kesan visual fantasi-fantasi dan lamunan mereka.
Analisis ini melibatkan interpretasi yang dalam pada tingkah laku permaianan anak dan disertai dengan ungkapan kata-kata. Interpretasi yang memusatkan pada symbol dari permainan anak ini kemudian diinterpretasikan kepada anak.
Teknik ini merupakan versi yang dimodifikasi dari analisis mimpi, untuk membantu mengerti pikiran dan perasaan yang diungkapkan melalui kata-kata anak. Pikiran yang tidak disadari kedalam kesadaran yang disadari.

Dalam akhir tahun 1930an terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam terpi bermain muncul yaitu: terapi bermain aktif di mana anak-anak diberikan kebebasan dalam menyusun sesuatu dengan ketentuan tertentu, terapis menggunakan permainan secara berlebih langsung sesuai dengan pendekatan yang berorientasi pada model psikoanalisis tradisional dan terapi pasif di mana terapis membiarkan anak terlibat tanpa batas dalam permainan (Dwijandono, 2005:300). Dasar aslinya terapi hubungan datang dari hasil karya Otto Rank, yang menekankan pentingnya ketidaksadaran dan sejarah masa lalu dan menekankan hubungan terapis klien sebagai sesuatu yang penting dan konsisten dan memfokuskan pada ada, di sini dan sekarang. (Landreth, dalam Dwijandono, 2005:301).
Dalam tahun 1940an Carl Rogers (Dwijandono, 2005:301) mengembangkan terapi Client Centered Non Directive (terapi yang berpusat pada anak secara tidak langsung) dengan orang dewasa yang dimodifikasikan oleh Virginia Axline (1947) untuk digunakan dalam terapi bermain dengan anak-anak. Konselor atau terapis dalam pendekatan Client Centered memusatkan pada hubungan fenomenologi antara klien dan konselor. Konselor harus memberikan lingkungan permisif di mana anak di bebaskan untuk menggambarkan konflik dan kesulitan-kesulitannya. Anak tidak pernah diberitahu bahwa dia sedang dalam proses penyembuhan dalam suatu masalah dan tidak dikontrol atau diberikan struktur dalam kegiatan bermainnya. Konselor yang berpusat pada klien percaya bahwa bermain adalah suatu yang paling wajar dalam mengekspresikan diri. Axline (Dwijandono, 2005:302-303) mengungkapkan delapan prinsip dasar dari pendekatan terapi bermain dari client centered non-directive adalah sebagai berikut:
1.      Terapis harus menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang bersahabat pada anak, di mana rapport yang baik berkembang sesegera mungkin.
2.      Terapis menerima anak sebagai mana adanya.
3.      Terapis harus mengembangkan perasaan permisif dalam hubungan dengan anak sehingga anak merasa bebas mengekspresikannya secara terbuka.
4.      Terapis harus waspada terhadap perasaan anak yang diekspresikan dan direfleksikan kembali dalam bentuk tingkah laku.
5.      Terapis diharapkan menghargai kemampuan anak dalam memecahkan masalahnya sendiri jika diberikan kesempatan untuk melakukannya. Terapis bertanggung jawab dalam membuat pilihan dan memulai mengubah anak.
6.      Terapis tidak diperkenankan langsung menegur perbuatan anak atau bercakap-cakap dengan cara apapun. Anaklah yang mengarahkan dan terapis mengikuti.
7.      Terapis jangan cepat-cepat melakukan terapi. Ini merupakan proses yang perlahan-lahan dan terapis harus mengenal anak dan orang tua terlebih dulu.
8.      Terapis hanya mengembangkan keterbatasan-keterbatasan yang diperlukan dalam menarik anak untuk terapi, dan pada kenyataannya akan membuat anak sadar akan tanggung awabnya dalam berhubungan dengan terapis.
Kasus yang disampaikan di sini memberikan satu contoh terapi bermain dalam situasi sekolah. Pendeatannya adalah pendekatan eclectic yang merefleksikan beberapa aspek dari orientasi psikodinamika dan beberapa aspek dari filsafat client centered (Dwijandono, 2005:303). Paling penting untuk diketahui adalah bagaimana proses konseing diadaptasi ke kebutuhan khusus dan kemampuan dari anak umur 10 tahun.
Terapi-terapi tingkah laku berdasarkan pada prinsip kondisioning dan teori belajar sosial, muncul selama akhir tahun 1950an. Tujuan dari terapi tingkah laku adalah untuk mengubah tingkah laku adalah untuk mengubah atau menghilangkan tingkah laku yang menyimpang dan menetapkan kembali tingkah laku yang dapat menyesuaikan diri dan lebih konstruktif. Untuk mencapai tujuan ini terapis menggunakan konsep penguatan (reinforcement) dan modeling.

Konsep 
Terapi permainan merupakan terapi kejiwaan namun dalam pelaksanaannya faktor ekspresi-gerak menjadi titik tumpuan bagi analisa terapeutik dengan medianya adalah bentuk-bentuk permainan yang dapat menimbulkan kesenangan, kenikmatan dan tidak ada unsur paksaan serta menimbulkan motivasi dalam diri sendiri yang bersifat spontanitas, sukarela dan mempunyai pola atau aturan yang tidak mengikat.