A. Pendekatan dalam Cognitive Behavior Therapy
Menurut
Sundberg (2007:211) ada tiga beberapa pendekatan dalam melakukan CBT, yaitu :
1.
Exposure
Therapy
Terapi ini digunakan
untuk mengontrol ketakutan yang dirasakan. Dalam terapi ini terapis membantu
klien untuk menghadapi situasi tertentu, orang, objek, memori atau emosi yang
akan mengingatkan klien terhadap trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistis
dalam kehidupan klien sehari-hari. Terapi ini bisa dilakukan dalam dua
pendekatan:
a. Exposure in imagination,
dimana terapis akan meminta klien untuk mengulangi atau menceritakan kembali
tentang memori peristiwa traumatis sampai pada suatu ketika klien tidak lagi
menimbulkan derajat distres yang tinggi.
b. Exposure in reality,
terapis akan membantu klien untuk menghadapi situasi pada kondisi aman, tapi
yang ingin dihindari oleh klien karena akan memicu timbulnya ketakutan yang
kuat. Ketakutan klien secara berangsur-angsur akan berubah jika klien berusaha
untuk meninggalkan situasi tersebut dari pada melarikan diri. Jika kegiatan ini
dilakukan secara berulang-ulang akan membantu klien menyadari bahwa situasi
tersebut tidak berbahaya dan bisa ditanggulangi. Terapi ini biasanya memakan
waktu 60-90 menit, dan terapi harus selalu memantau kondisi klien setelah
melakukan exposure. Biasanya klien
juga diberikan tugas untuk mengulangi kegiatan yang telah dilakukan sebagai homework.
2. Cognitive Restructuring
Teknik ini membantu
individu mengatasi masalah kenangan yang jelek akibat trauma yang dirasakan. Perasaan
individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya
sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pikiran yang
objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya. Penyimpangan proses kognitif
juga disebut distorsi kognitif. Distorsi kognitif yang dapat dialami oleh
individu terdiri dari penyimpangan pemikiran-pemikiran dapt dipaparkan sebagai
berikut :
a. Pemikiran
“segalanya atau tidak sama sekali” (all
or nothing thinking). Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan individu
untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori ‘hitam tau
putih’ secara ektrim. Pemikiran ‘bila saya tidak begini maka saya bukan apa-apa
sama sekali’ merupakan dasar dari perfeksionisme yang menuntut kesempurnaan.
Pemikiran ini menyebabkan individu takut terhadap kesalahan atau
ketidaksempurnaan apapun, sehingga untuk selanjutnya individu akan memandang
dirinya sebagai pribadi yang kalah total, dan individu akan merasa tidak
berdaya. Contoh:” jika suamiku meninggalkan aku maka aku juga akan meninggal.
b. Terlalu
menggeneralisasi (overgeneralization).
Individu yang melakan pemikiran terlalu menggeneralisasi terhadap peristiwa
yang dihadapinya maka individu tersebut menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah
terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang kali. Karena apa yang pernah
terjadi sangat tidak menyenangkan, maka individu selalu senantiasa merasa
terganggu dan sedih.
c. Filter
mental. Pemikiran ini menunjuk kecenderungan individu untuk mengambil suatu hal
negatif dalam situasi tertentu, terus memikirkannya, dan dengan demikian
individu tersebut mempersepsikan seluruh situasi sebagai hal yang negatif.
Dalam hal ini individu yang bersangkutan tidak menyadari adanya ‘proses
penyaringan’, maka individu lalu menyimpulkan bahwa segalanya selalu negatif.
Istilah teknis untuk proses ini ialah “abstrak selektif”.
d. Mendiskusikan
yang positif. Suatu pemikiran yang dilakukan oleh individu yang tidak hanya
sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi juga mengubah
semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang negatif.
e. Loncatan
ke kesimpulan. Individu melakukan pemikiran loncatan ke suatu kesimpulan
negatif yang tidak didukung oleh fakta dari situasi yang ada. Dua jenis
distorsi kognitif ini adalah “membaca pikiran” dan “kesalahan peramal”. Membaca
pikiran yaitu individu berasumsi bahwa orang lain sedang memandang rendah
dirinya, dan individu tersebut yakin akan hal ini sehingga dirinya sama sekali
tidak berminat untuk mengecek kembali kebenarannya. Keslahan peramal yaitu
kecenderungan individu untuk membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan
individu tersebut menganggap pemikirannya sebagai suatu fakta walaupun sama sekali
tidak realistis.
f. Pembesaran
dan pengecilan. Individu memiliki kecenderungan untuk memperbesar atau
memperkecil hal-hal yang dialaminya diluar proporsinya. Pembesaran yaitu
individu akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan atau ketidaksempurnaan
dirinya. Pengecilan yaitu individu akan mengecilkan nilai dari kemampuan
dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak
berarti. Jika individu membesar-besarkan ketidaksempurnaan dirinya serta
memperkecil kemampuannya, maka individu akan merasa dirinya rendah dan tidak
berarti.
g. Penalaran
emosional. Individu menggunakan emosinya sebagi bukti untuk kebenaran yang
dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab perasaan individu
yang menjadi cermin pemikiran serta keyakinan, bukan kondisi yang sebenarnya.
h. Pernyataan
“harus”. Individu akan mencoba memotivasi diri sendiri dengan mengatakan “saya
harus melakukan pekerjaan ini”. Pernyataan tersebut menyebabkan individu merasa
tertekan, sehingga menjadi tidak termotivasi. Bila individu menunjukkan pernyataan
“harus” kepada orang lain, maka individu akan mudah frustasi ketika mengalami
kenyataan yang tidak sesuai dengan harapannya.
i.
Memberi cap dan salah memberi cap. Memberi
cap pribadi berarti menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada
kesalahan individu. Ini merupakan bentuk ekstrim dari terlalu menggeneralisasi.
Pemikiran dibalik distorsi kognitif ini adalah nilai individu terletak pada
kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Salah memberi
cap berarti menciptakan gambaran negatif didasarkan emosi yang dialaminya saat
itu.
j.
Personalisasi. Individu merasa bertanggung
jawab atas peristiwa negatif yang terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan
merupakan kesalahan dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab
dari suatu peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan
individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut.
3. Stress
inoculation training (SIT)
SIT bertujuan untuk
membantu klien meraih kepercayaan diri terhadap kemampunnya untuk mengatasi
kecemasan dan ketakutan yang bersumber dari penglaman traumatis. Dalam SIT
terapis juga membantu klien untuk lebih waspada terhadap hal-hal yang
mengingatkan klien terhadap hal-hal yang menimbulkan ketakutan. Klien juga
diajarkan beberapa kemampuan strategi koping untuk mengatasi kecemasan seperti muscle relaxtion dan deep breathing. Muscle relaxtion dan deep breathing digunakan untuk mengatasi
manifestasi klinis seperti hiperventilasi, ketegangan otot dan jantung
berdebar. SIT memiliki 3 fase dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Initial
conceptualization, yaitu pada fase ini terapis memberikan pendidikan kepada
klien tentang proses terjadinya stress dan bagaimana klien memahami bagaimana
hubungan antara aspek stresor yang dialami dan reaksi yang timbul akibat stres,
dimana reaksi adalah sesuatu yang bisa diubah, sehingga klien bisa menerapkan
koping yang tepat sesuai untuk maslah yag dihadapi.
b. Skill
aquisation and rehearsal, yaitu klien diajarkan tentang kemampuan yang penting,
memenuhi kebutuhan klien dan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki klien.
c. Application and follow
through, pada fase ini terapis memberikan kesempatan pada klien untuk
mempraktekkan semua yang sudah dipelajari. Klien akan didorong untuk
mempraktekkan berbagai kemampuan meliputi latihan visualisasi, modeling dan
belajar mandiri, role play untuk situasi yang menimbulkan ketakutan dan
pengulangan perilaku koping sehingga klien pada akhirnya mampu menggunakan
kemampuan yang diajarkan secara otomatis