Sejarah Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


Pict by behavioralassociatesla.com

 SEJARAH
Terapi Cognitive Behavior dikembangkan oleh beberapa ahli, antara lain Albert Ellis dengan Rational Emotive Therapy, Aaron T. Beck dengan Cognitive Therapy, Donald Meichenbaum dengan Cognitive Behavior Modification, dan Arnold Lazarus dengan Multimodal Therapy. Sumbangan yang tidak kalah berharga diberikan pula oleh Michael Mahoney, Vittorio Guidano dan Giovanni Liotti (Oemarjoedi, 2003:15).
Rational Emotive Therapy Albert Ellis, lahir di Pittsburg tahun 1913 dan menetap di New York sejak tahun 1917, ia dianggap sebagai pendahulu teori Cognitive Behavior, yang dikenal sebagai Rational Emotive  Therapy (RET). Semula metode terapi ini kurang dapat diterima oleh kalangan terapis, karena upaya merasionalisasi emosi dianggap sebagai tindakan yang tidak menghargai klien. Namun dengan meningkatnya keterlibatan unsur kognitif, melalui restrukturisasi fungsi kognitif dan ketrampilan memecahkan masalah, model terapi ini mulai dapat diterima dan dipergunakan dalam psikoterapi. Rational Emotive Therapy, terapis diharapkan dapat membantu klien untuk menyelesaikan emosi negatifnya, dimana prinsip dasar terapi ini adalah menekankan proses belajar dalam melatih ketrampilan untuk mengguncang pola pikir yang irrasional, mengembangkan pola pikir yang rasional, serta mempelajari cara yang lebih efektif dalam mengatasi masalah atau gangguan emosinya. Dengan menempatkan kondisi emosinya dalam kerangka berpikir yang lebih rasional, klien diharapkan dapat menampilkan perilaku yang rasional pula. Selanjutnya masalah gangguan menjadi lebih ringan, bahkan sembuh sama sekali (Oemarjoedi, 2003:16).
Ellis memberikan argumentasi bahwa manusia cenderung berbicara pada diri sendiri, menilai diri sendiri dan defensif. Mereka mulai bermasalah dalam emosi dan tingkah laku ketika mereka tertarik untuk memilih kebutuhan tertentu (kebutuhan akan cinta, pengakuan, atau keberhasilan) dan membuat kesalahan  dengan menganggap kebutuhan tersebut sebagai mutlak dipenuhi. Kata-kata harus, mesti, berhak, menuntut, perintah, dan sejenisnya akan meningkatkan keinginan seseorang untuk menjadi dogmatis dan irrasional. Pola pikir yang tidak rasional dan tidak logis akan menimbulkan gangguan perasaan dan selanjutnya menghasilkan gangguan tingkah laku pula.
 Menurut Oemarjoedi (2003:17) Cognitive Therapy Aaron T. Beck menyebut aliran teorinya sebagai Cognitive Therapy (CT), dimana ia mengembangkan teori ini pada kasus-kasus depresi yang kemudian berkembang pada kasus kecemasan dan phobia, serta berlanjut pada kasus-kasus gangguan kepribadian. Cognitive Therapy dari Beck ini memiliki banyak kesamaan dengan Rational Emotive Therapy, dalam hal pendekatan aktif, direktif, terpusat pada masa kini, dan terstruktur. Ia menekankan upaya terapi pada teknik mengenali dan merubah pikiran negatif sekaligus sistem kepercayaan yang maladaptif (kaku). Pendekatan Beck didasarkan kepada pemikiran logis bahwa cara seseorang merasa dan bertindak sangat dipengaruhi oleh cara ia memandang dan memahami pengalamannnya. Tujuan utama Cognitive Therapy adalah untuk merestrukturisasi pikiran negatif dan sistem kepercayaan yang kaku. Latar belakang sebagai seorang psikoanalisis dimana ia sering menemukana adanya karakteristik pola pikir yang menyimpang 38 dalam kasus-kasus klinis yang ditanganinya, membuat Beck tertarik untuk menjelajah pikiran otomatis klien dalam teori Cognitivenya.
Beck meyakinkan bahwa klien dengan gangguan emosi cenderung memiliki kesulitan berpikir logis yang menimbulkan gangguan pada kapasitas pemahamannya, yang disebut sebagai distorsi kognitif. Distorsi kognitif merupakan model terbaik yang dikenal dalam pemrosesan kognitif yang digunakan konselor Kognitif Behavioral milik Beck. Dalam kerja ini, pengalaman berupa ancaman akan berakibat pada hilangnya kemampuan untuk memproses informasi secara efektif. Distorsi kognitif menurut Beck antara lain:
a.       Mudah membuat kesimpulan tanpa data yang mendukung, cenderung berpikir secara “catastrophic” atau berpikir seburuk-buruknya.
b.      Memiliki pemahaman yang selektif, mambatasi kesimpulan berdasarkan hal-hal yang terbatas.
c.       Mudah melakukan generalisasi, sebagai proses meyakini suatu kejadian untuk diterapkan secara tidak tepat pada situasi lain.
d.      Kecenderungan memperbesar dan mempekecil masalah, membuat klien tidak mampu menilai masalah secara obyektif.
e.       Personalisasi, membuat klien cenderung menghubungkan antara kejadian eksternal dengan diri sendiri dan menyalahkan diri sendiri.
f.       Pemberian label atau kesalahan memberi label, menentukan identitas diri berdasarkan kegagalan atau kesalahan.
g.      Pola pemikiran yang terpolarisasi, kecenderungan untuk berpikir dan menginterpretasikan segala sesuatau dalam bentuk “all-or-nothing” (semua atau tidak sama sekali).
Perbedaan mendasar antara terapi Cognitive Beck dan terapi Rational Emotive Ellis adalah bahwa Ellis menekankan pada substansi pikiran yang irrasional, sementara menurut Beck disfungsi keyakinan menjadi suatu masalah karena mereka tidak sesuai dengan proses kognitif yang umum terjadi, bukan karena ketidak rasionalnya. Terapi Cognitive mempergunakan bukti-bukti yang mendukung atau bertentangan dengan pandangan dan asumsi klien, untuk merubah pola pikirnya.
Menurut Oemarjoedi (2003:18) Teori Cognitive Behavior Modification (CBM) dikembangkan oleh Donald Meichenbaum menggunakan teknik terapi “self instructional” yang pada dasarnya adalah proses merestrukturisasi sistem kognisi klien, namun terpusat pada perubahan pola verbalisasinya. Menurut Meichenbaum, pernyataan diri akan mempengaruhi tingkah laku seseorang sebagaimana pernyataan diberikan oleh orang lain. Sebagai langkah awal dalam CBM, sebagai prasyarat untuk perubahan perilaku, klien harus mengenali cara mereka berpikir, merasa, dan bertindak, serta bagaimana akibatnya terhadap orang lain. Sedikit berbeda dengan teknik Rational Emotive Therapy yang lebih direktif dan konfrotatif, atau teori Cognitive Beck yang lebih terstruktur pada pencarian pola pikir otomatis, CBM lebih memusatkan perhatian kepada menyadarkan klien dalam melakukan komunikasi dengan diri sendiri (self talk). Self talk memiliki banyak nama lain, termasuk inner monologue (monolog batin), inner dialogue (dialog batin), inner speech (pembicaraan batin), self verbalizing (verbalisasi diri), self instructing (memberi instruksi pada diri sendiri), dan berbicara kepada diri sendiri.
Di dalam semua hubungan konseling, paling tidak ada tiga percakapan yang terjadi percakapan publik ditambah private self talk antara konselor dan klien. Proses terapi terdiri dari kegiatan melatih klien untuk merubah instruksi yang diberikan kepada diri mereka sendiri agar mereka mau mengatasi masalah secara lebih efektif. Meichenbaum mengajukan bahwa perubahan tingkah laku terjadi dalam beberapa tahap melalui interaksi dengan diri sendiri, perubahan struktur kognitif, perubahan tingkah laku, dan bukti dampak terapi terhadap gangguan. Ia menggambarkan proses 3 tahap CBM sebagai berikut:
(1)   Observasi diri
Awal terapi, klien diminta untuk mendengarkan dialog internal dalam diri mereka dan mengenali karakteristik pernyataan negatif yang ada. Proses ini melibatkan kegiatan meningkatkan sensitivitas terhadap pikiran, perasaan, perbuatan, reaksi fisiologis terhadap orang lain.
(2)   Membuat dialog internal baru Klien belajar untuk mengenali tingkah laku menyimpangnya, mereka mulai mencari kesempatan untuk mengembangkan alternatif tingkah laku adaptif (tingkah laku yang tidak menyimpang), dengan cara merubah dialog internal dalam diri mereka. Dialog internal yang baru diharapkan dapat menghasilkan tingkah laku baru, yang sebaliknya akan memberikan dampak terhadap struktur kognisi klien.
Belajar ketrampilan baru Klien kemudian belajar teknik mengatasi masalah yang secara praktis dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, klien diharapkan untuk tetap memusatkan perhatian kepada tugas membuat pernyataan baru dan mengamati perbedaan hasilnya.

1 komentar:

ini sumbernya dari mana ya kalo boleh tau? terima kasih